Memasuki bulan Februari, kita selalu menyaksikan media massa, mal-mal, dan pusat-pusat hiburan bersibuk-ria dan berlomba-lomba untuk menarik perhatian para remaja. Tepat pada tanggal 14 Februari, tidak sedikit di antara mereka berhura-hura menggelar pesta perayaan hingga larut malam, bahkan ada juga yang di dalamnya berlangsung pesta seks bebas. Na’udzu billahi min dzalik. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine’s Day. Biasanya mereka saling mengucapkan, “selamat hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling curhat, saling bertukar pasangan, menyatakan sayang atau cinta karena beranggapan, bahwa saat itu adalah “hari kasih sayang”. Benarkah demikian?
Sejarah Valentine’s Day
The World Book Encyclopedia, vol. 20 (1993) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day.
Adalah perayaan Lupercalia yang merupakan rangkaian upacara penyucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda dan pemudi saling mencari pasangan dengan undian. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala.
Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Constantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, vol. 12, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada tahun 496 M, Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St.Valentine yang mati pada 14 Februari. (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).
The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan telah mati pada masa Romawi. Namun demikian, tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.
Versi pertama, Kaisar Claudius II menangkap St. Valentine, karena menyatakan tuhannya adalah Isa al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.
Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II melarang para pemuda untuk menikah agar lebih tabah dan kuat dalam pertempuran. Tetapi St. Valentine diam-diam menikahkan banyak pemuda, sehingga ia dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, vol 20, 1993).
Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan, “Kata Valentine berasal dari bahasa Latin yang berarti: ‘Yang Maha Perkasa’, ‘Maha Kuat’ dan ‘Maha Kuasa’”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “Be my valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan, karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa” dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Adapun “Cupid” (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan, sehingga diburu wanita, bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!
Saudaraku, itulah sejarah Valentine’s Day yang sebenarnya, yang seluruhnya tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala, dan penghormatan kepada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu mengapa kita masih juga menyambut hari Valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?. Bila demikian, sangat disayangkan banyak teman-teman kita -remaja putra-putri Islam- yang terkena penyakit ikut-ikutan mengekor budaya Barat dan acara ritual agama lain. Allah berfirman, artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al Isra’: 36).
Hukum Merayakan Valentine’s Day
Tidak semua yang dilakukan dan dipandang baik oleh kebanyakan manusia harus kita ikuti, bahkan hal tersebut menjadi tercela dan diharamkan dalam Islam, jika perbuatan atau orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan (Aqidah). Rasulullah telah melarang umatnya mengikuti tata cara peribadatan selain Islam dan segala sesuatu yang menjadi kekhususan mereka dan agama mereka, beliau bersabda, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. at-Tirmidzi).
Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali St.Valentine, maka tidak diragukan lagi bahwa ia telah terjerumus ke dalam kekafiran. Adapun bila ia tidak bermaksud demikian, maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata, “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. seperti memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengucapkan, ‘Selamat hari raya!’ dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalaupun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak, itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh.”
Rasulullah saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath. Biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Sebagian sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa; ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. at-Tirmidzi, hasan shahih).
Maka wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ (loyalitas kepada kaum muslimin dan berlepas diri dari orang-orang kafir) yang merupakan dasar aqidah para as-Salaf ash-Shalih. Yaitu dengan mencintai orang-orang mukmin dan membenci serta tidak menyerupai orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku mereka.
Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: Ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka, sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap rakaat shalatnya telah mengucapkan, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka (para nabi, shidiqin, syuhada` dan shalihin); bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani).” (QS. al-Fatihah: 6-7)
Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan orang-orang yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.
Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati serta rendah diri kepada mereka. Dan ini semua merupakan salah satu wujud nyata kekalahan iman dalam wala’dan bara’. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya tentang Valentine day-menjawab,
“Tidak boleh merayakan Valentine’s Day karena sebab-sebab berikut:
Pertama: Bahwa itu adalah hari raya bid’ah tidak ada dasarnya dalam syari’at.
Kedua: Bahwa itu akan menimbulkan kecengengan dan kecemburuan.
Ketiga: Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf.
Karena itu pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah ataupun yang lainnya.
Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamanya dan tidak merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata maupun yang tersembunyi dan semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan bimbingan dan petunjuk-Nya.
Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, tanggal 5/11/1420 H yang beliau tanda tangani. [Lihat: Fatwa-Fatwa Terkini, Jilid 2, hal. 461, Darul Haq, Jakarta]
Allah berfirman, artinya, “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (QS. al-Mujadilah: 22)
Semoga Allah senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam hadits qudsi, Allah berfirman, artinya, “Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling berkorban karena Aku dan yang saling mengunjungi karena Aku.” (HR. Ahmad).
Sumber: www.alsofwah.or.id (Redaksi an-Nur)